Garut, Senin 06 Dzulhijjah 1446 H / 02 Juni 2025 M _ Malam
Dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, tepat pada hari Senin, 02 Juni 2025, saya menyelesaikan hafalan 30 Juz di bawah naungan Markaz Khidmat Al-Quran wa As-Sunnah (MKQS) Garut. Semua ini bermula saat saya berusia 8 tahun. Di samping sibuk bermain, saya mulai menghafal surat-surat pendek. Tak terasa, dari potongan ayat demi ayat, hafalan itu menuntun saya mengikuti berbagai lomba tahfizh, dari bangku Sekolah Dasar hingga kelas 8.
Perjalanan ini tentu bukan sesuatu yang instan. Selama kurang lebih 12 tahun, saya menghafal di lingkungan yang membentuk dan membersamai setiap tahap yang dijalani. Berawal dari Yayasan Al-Washilah, yang kini menjadi Rumah Tahfizh Raudhah Al-Muhibbin, di Kp. Renteng, Kec. Cikajang. Dari masa kecil hingga lulus kelas 12, tempat itu menjadi rumah bagi hafalan saya. Sebuah awal yang panjang, namun penuh makna.
Setelah lulus dari MA Persis 97 Cikajang pada tahun 2022, saya melanjutkan pendidikan ke IAI Persis Garut, yang saat itu masih berstatus Sekolah Tinggi. Sempat ada rasa khawatir, takut hafalan akan terabaikan karena padatnya aktivitas perkuliahan. Namun, Allah menuntun saya melalui saran dari Ustadz Mohammad Ramdan selaku Mudir ‘Am PPI 97 Cikajang, untuk mendaftar ke Markaz. Saat itulah saya bertemu nasihat yang terus menjadi pegangan. Ustadz Yusuf Tajri, saat saya interview beliau mengatakan, “Upami bade di Markaz sambil kuliah, kedah unggul di duanana, teu kengeng beurat sabeulah”. Dari situ saya menyadari bahwa ini bukan sekedar tentang hafalan atau kuliah, melainkan tentang bagaimana menjaga keseimbangan dalam amanah yang diemban.
Awal masa kuliah dan program di Markaz masih terasa lancar. Bekal hafalan sebelumnya membuat proses ziyadah berjalan lebih mudah. Bahkan dalam beberapa bulan, saya dapat menyelesaikan 10 Juz. Saat itu, segala sesuatunya masih terasa terkendali.
Namun, memasuki semester tiga, ritmenya mulai berubah. Dari target hafalan bulanan yang tidak tercapai, hingga tugas kuliah yang mulai menumpuk. Saya juga mulai aktif di organisasi kampus. Dalam satu pekan, saya harus menghadiri kajian intensif Tuhfatul Athfal di semester 3, lalu berlanjut dengan dengan kajian Jazariy di semester 4, keduanya merupakan bagian dari program Markaz yang harus diselesaikan. Di saat yang sama, tugas-tugas kuliah terus berdatangan, organisasi menuntut perhatian, dan target hafalan pun tidak bisa ditinggalkan, semuanya berkumpul dalam satu waktu. Ketika ujian hafalan tiba saat itu, seharusnya saya mempersiapkan 10 Juz untuk diujikan, tetapi hanya mampu 5 Juz yang diujikan. Hal itu cukup mengguncang, namun disitulah saya mulai belajar lebih dalam tentang arti kesungguhan.
Semakin tinggi semester, tantangannya pun semakin kompleks. Semester 5 dan 6 menjadi masa-masa paling berat. Bukan hanya secara fisik, tetapi mental juga sering kali diuji. Setoran hafalan menjadi tidak konsisten, semangat naik turun, dan rasa cemas pun kerap datang tanpa alasan yang jelas, bahkan saya pernah berada di titik dimana ingin menyerah. Namun di tengah guncangan itu, saya kembali teringat sebuah nasihat dari salah satu guru saya di Raudhah Al-Muhibbin: “Segala sesuatunya akan dimudahkan jika dibarengi dengan Al-Quran”.
Kalimat sederhana itu menenangkan. Ia seolah menjadi pengingat bahwa di balik segala kesulitan, Allah telah menyiapkan kemudahan selama hati ini masih terikat dengan kalam-Nya. Perlahan, semangat saya mulai bangkit kembali. Setiap kelelahan justru mendekatkan saya pada ayat-ayat yang dulu pernah saya lewati, dan menguatkan niat untuk terus bertahan, meskipun sesekali ada sikap mengeluh yang muncul. Namun di tengah semua itu, ada satu hal yang membuat saya tetap bertahan: nikmatnya muroja’ah.
Saya mulai menyadari bahwa dibandingkan ziyadah, saya jauh lebih menikmati saat-saat muroja’ah. Ada ketenangan yang sukit dijelaskan, seperti sedang berdialog dengan Allah. Saya pun berpikir, jika ziyadah bisa segera diselesaikan, saya bisa lebih fokus memperkuat hafalan melalui muroja’ah. Meskipun pada akhirnya saya sadar bahwa menjaga Al-Quran bukan tentang seberapa cepat menghafal, tetapi tentang komitmen seumur hidup untuk terus mengulang.
aya memang tidak memiliki metode yang istimewa. Saya termasuk orang yang mudah menghafal, namun juga mudah lupa. Karena itu, muroja’ah menjadi kebutuhan utama. Selain mengulang secara lisan, saya juga menulis ulang hafalan. Karena menulis bukan hanya membantu mengingat, tetapi juga melatih keterampilan lainnya. Bahkan saat menghadapi ayat-ayat yang sulit dan belum familiar, tak jarang air mata pun ikut mengalir.
Hal lain yang diam-diam sangat membantu adalah memahami pola kalimat dalam ayat. Meski saya masih terbatas dalam pemahaman bahasa Arab, namun dengan sedikit-sedikit mengenali kaidah dasar, membaca terjemahan, dan mencoba menangkap alur maknanya, hafalan terasa lebih lekat dan mudah diingat. Bukan sekedar menghafal bunyi, tapi juga mulai memahami pesan yang dibawa. Meskipun pemahaman saya belum mendalam, pendekatan ini menjadi salah satu bentuk ikhtiar yang sangat berarti dalam proses ini.
Dan akhirnya, Allah SWT memperkenankan saya menyelesaikan setoran terakhir di Juz 30. Di leval akhir ini juga saya menempuh ujian oleh ustadz Hasan Anshari, Mudir MKQS Unit Tahfizh. Saya ditemani oleh teman-teman seperjuangan yang menyimak hafalan saya denga penuh kesabaran dan ketulusan. Rasanya bukan sekedar menyelesaikan hafalan, tetapi menapaki awal dari sebuah amanah besar untuk menjaga, menghidupkan, dan mengamalkan kalam-Nya dalam kehidupan sehari-hari.
Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT. Tanpa rahmat-Nya, saya tidak akan sampai di titik ini. Terima kasih kepada orang tua, keluarga, para guru, para donatur, dan sahabat-sahabat yang tidak pernah berhenti mendo’akan dan mendukung. Perjalanan ini tidak berhenti di sini, karena hafalan bukan untuk diselesaikan, tetapi untuk dijaga selamanya. (NM)